Sabtu, 20 Agustus 2011

di kehidupan mendatang ijinkan aku terlahir sebagai belulangmu

kiranya derma yang kucipta sebalas budi cahaya yang telah kau pijar dari selimut mentariku

-2009-

tiktoklapantujuh

Dua hari yang lalu
Kita telah belajar
Mengepakkan sayap seperti
Burung di langit lepas

Kemarin
Kita telah belajar
Menahan napas seperti
Ikan di laut dalam

Bahkan sekarang
Mari kita belajar
Melangkahkan kaki
Di atas dunia
Seperti tuhan


-2005-

dia memanggilku lelaki berselimut matahari

dia memanggilku lelaki berselimut matahari
diselipkannya doa bersama senja dan awan awan yang menari
sambil berharap semoga hari tak berlalu pagi

di tiap tetes embun yang berlalu oleh waktu
menghadirkan sepasang sepi yang bermuara di dua sunyi yang berbeda

dia memanggilku lelaki berselimut matahari
dengan syair syairnya yang kujelma dalam sketsa
adakah ia menulis wajahku dari pasir yang berbekas ini?


-2008-

Kamis, 18 Agustus 2011

bendung saja tangismu biarlah aku yang mengalirkannya bungkam saja teriakmu biarkan aku meneriakkannya

Langit dipertemukan daratan hanya pada batas akhir mata kita, pada lautan, pada pegunungan, pada celah badai berhamburan entah kemana, apa kau tahu?


Lantaran kemana sisa sisa angin di ujung badai kalau tak habis dituang tiktok jam di tebing tebing doa. Namun kau terbuai diayun langit biru.


Dari kedalaman matamu aku menyelam, kubuat riak pada bening korneamu, perahu waktu diterjang badai airmata, layar tak sanggup tegak. Hanya saja hembusan nafasmu makin dingin, makin dingin.


Kutitip ombak lautan pada bintang melintas sepi, dengan seribu cerita, dengan sang rembulan yang tertawa. Genggaman jemarimu kian erat, serasa tak ada celah untuk mengantarkan jarak antara tangan ini. Walau kita tahu genggaman ini akan tenggelam oleh jutaan molekul air mata, ah jangan ada tangis dari momen momen ini, aku ingin menutup mata dan telinga agar serasa tak tahu.


Biarlah gelisah berdiam pada nada nada akhir simfoni. Bila nantinya ada jarak antara otak kita. Kan kubenamkan pucat rembulan pada embun embun hijau daun. Namun tak sepanjang tebing doa ujung gelisah nanti, walu tiktok jam belum sampai kesana. Telah aku baca jalan memori zaman, tak lagi ada masa depan dan kita tinggallah bisu sebisu bisunya,  tanpa gerak, tanpa makna. Jangan kau lepaskan genggamanmu walau laut dan langit adalah jarak antara tangan kita, katakan kita tak terpisah.

Bila saja memilih itu adalah hal yang terlampau mudah, antara tik dan tok biarlah aku buat ruang untuk kita sendiri tiada belenggu yang menyumbat, namun pada berjuta torr rindu kemana aku mencari jejak peluruhan gelisah. Dan kesetimbangan antara kau dan aku kian goyah, kian goyah.

bila aku tak lagi dapat
bicara padamu
karena arah belunggu
gerak masih sibuk dalam jazadku
sementara gelisah
memilih diam sesunyi cadas karang yang
membenturkan diri pada tiap
perahu layar yang hendak berlabuh
di laut hatiku
karam
dan
raib di kedalaman
berpal pal jaraknya
dengan tekanan sejuta torr rindu
bersama rahang rahang hiu
aku menyelam
mencari
ujung gelisah yang tertambat di dasar laut hatiku bersama perahu perahu karam
kedalaman matamu aku tak
sanggup bertahan
goyah dan kian goyah.


-2005- 

rangkaian sujud

syair syair sayup
masih saja terdengar
lewat angin malam
makin dingin
makin dingin

hanya saja sujudku
tiada beku
bersama kata kata
memujaMu

rangkaian sujud

jidat ini terus saja aus
aku tak mau merasa lelah
hingga sujudku
melahirkan syair syairMu

Minggu, 14 Agustus 2011

rangkaian sujud

sujud ini terasa tak cukup
melanturkan semua doa
juga tak mampu mencipta
syukurku

dimana Kau
tunjukkan jalannya

sementara
aku kian mengantuk